Minggu, 08 Juni 2014

kesehatan pada gigi

A. Latar Belakang Rongga mulut merupakan pintu gerbang tubuh. Setiap waktu tak terhitung mikroorganisme yang melewati rongga mulut. Hal ini terjadi terus menerus tanpa mengalami banyak gangguan karena adanya pengaruh saliva. Rongga mulut juga merupakan bagian saluran cerna dengan biologi yang unik, terdiri atas jaringan lunak dan keras seperti tubuh lainnya. Dalam rongga mulut ini juga terdapat kelainan-kelainan, salah satunya yaitu bau mulut atau halitosis (Roeslan, 1999). Bau mulut yang bersumber dari mulut merupakan faktor yang disebabkan oleh bakteri dan protein yang ada pada semua orang, oleh karena itu pada dasarnya bau mulut adalah masalah semua orang, hanya tingkat keparahan yang berbeda-beda, ada yang mempunyai bau mulut ringan sehingga sama sekali tidak mengganggu orang-orang di sekitarnya, sementara yang mempunyai kondisi halitosis berat sangat mengganggu orang lain sehingga dapat mempengaruhi rasa percaya diri (Widiati, 2003). Kondisi gigi yang tidak bersih maupun gigi yang berlubang merupakan tempat yang dapat menjadi media pertumbuhan bakteri anaerob gram negatif, di samping sisa makanan itu juga mengalami pembusukan ( Wibosono, 2002). Hasil Penelitian menunjukan, hampir 85-95 % bau mulut bersumber adanya kelainan di rongga mulut, baik gigi yang berlubang maupun infeksi jaringan penyangga (Fahrudin, 2002). Jurnal healt to day mengatakan, plak merupakan penyebab kerusakan gigi. Plak dan sisa makanan yang melekat di gigi secara bertahap akan diubah menjadi asam oleh bakteri. Jika plak dan sisa makanan tersebut dibiarkan terlalu lama dipermukaan gigi atau tidak segera dibersihkan dan ditambah lagi dengan adanya air liur, plak beserta sisa-sisa makanan menumpuk yang lama kelamaan akan mengeras sehingga berubah menjadi karang gigi yang mempunyai permukaan kasar sehingga memudahkan kotoran-kotoran menempel (Ita, 2002). Obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, dan mineral. Bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk mengobatan berdasarkan pengalaman. Bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar dibanding dari bahan yang dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional hampir selalu identik dengan tanaman obat. Dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan yang semakin meningkat karena mudah ditemui dan harganya dapat dijangkau oleh semua lapisan masarakat. Tanaman teh juga salah satu tanaman yang dijadikan obat tradisional. Di seluruh pelosok Indonesia aneka produk bisa dijumpai sehari-hari. Teh bisa diminum panas atau dingin sebagai minuman penyegar atau obat. Banyak pula yang mencampurkan dengan bahan-bahan tertentu untuk mengobati berbagai penyakit (Nazarudin, 1996). Salah satu gangguan pada mulut adalah bau mulut. Biasanya berbagai cara dilakukan untuk menghilangkannya. Mulai pengobatan tradisional yang menggunakan berbagai ramuan. Para peneliti dari Lembaga Perlindungan Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan di Belanda menemukan bahwa di dalam teh, terdapat zat yang bernama katekin yang dapat menghambat perkembangan bakteri penyebab napas berbau tidak sedap. Minuman teh dengan kekentalan normal, cukup untuk membunuh bakteri pada lidah (Okie, 2008). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai mekanisme teh hijau untuk menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus. B. Perumusan Masalah Dari uraian diatas, maka perumusan masalah ini adalah bagaimanakah mekanisme teh hijau (ryokucha) untuk menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus? C. Tujuan 1. Umum : Untuk mengetahui mekanisme teh hijau dalam menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus. 2. Khusus : Untuk mengetahui perbandingan antara teh apa yang paling banyak kandungan zat yang berkhasiat untuk menghilangkan halitosis. D. Manfaat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain: 1. Bagi Penulis Agar dapat menambah pengetahuan tentang mekanisme teh hijau untuk menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus. 2. Bagi Institusi Pendidikan Bahan masukan bagi institusi pendidikan dalam kontribusi teh sebagai salah satu obat tradisional bau mulut ke dalam kurikulum mata kuliah bagi mahasiswa Politeknik Kesehatan Pontianak Jurusan Kesehatan Gigi. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Segala masukan serta referensi bagi penelti lebih lanjut yang berkaitan dengan mekanisme teh untuk menghilangkan halitosis. E. Ruang Lingkup 1. Lingkup Keilmuan Studi pustaka ini merupakan bidang ilmu obat kedokteran gigi. 2. Lingkup Masalah Lingkup masalah ini ditekan pada mekanisme teh hijau untuk menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus. 3. Lingkup Metode Jenis studi pustaka ini adalah bersifat membaca dan mengumpulkan referensi dari buku, majalah, tabloid, dan internet. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teh Kata teh berasal dari Cina yaitu teh dengan istilah tay. Bahasa latinnya Camelia sinensis. Hingga sekarang teh sudah banyak dikenal sampai ke seluruh negara. Ada beberapa klasifikasi tanaman teh menurut Nazarudin (1996) yaitu : > Divisi : Spermatophyta > Sub divisi : Angiospermae > Kelas : Dicotyledon > Famili : Theaceae > Genus : Camellia > Species : Camellia sinensis 1. Ciri-Ciri Teh Menurut Nazarudin (1996) ada beberapa ciri-ciri teh yaitu tanaman teh berbentuk pohon. Tingginya bisa mencapai belasan meter. Namun tanaman teh di perkebunan selalu dipangkas untuk memudahkan memetiknya, sehingga tingginya 90- 120 cm. Mahkota teh berbentuk kerucut. Daunnya berbentuk jorong atau agak bulat telur terbalik. Tepi daun bergerigi. Daun tunggal dan letaknya hampir berseling. Tulang daun menyisip. Permukaan daun atas muda berbulu halus, sedangkan permukaan bawahnya hanya sedikit, dan permukaan daun halus tidak berbulu lagi. Bunga tunggal dan ada yang tersusun dalam rangkaian kecil. Bunga muncul dari ketiak daun. Warnanya putih bersih berbau wangi lembut. Namun ada bunga yang berwarna semu merah jambu. Mahkota bunga berjumlah 5- 6 helai. Putik dengan tangkai yang panjang atau pendek dan pada kepalanya terdapat tiga buah sirip. Jumlah benang sari 100- 200 helai. Buah teh berupa buah berupa kotak berwarna kecoklatan. Dalam satu buah berisi satu sampai enam biji, rata-rata tiga biji. Buah yang masak dan kering akan akan pecah dengan sendirinya serta bijinya ikut keluar. Bijinya berbentuk bulat atau gepeng pasa satu sisinya. Berwarna putih sewaktu masih muda dan berubah menjadi kecoklatan setelah tua. Akar teh berupa akar tunggal dan mempunyai banyak akar cabang. Apabila akar tunggalnya putus, akar-akar cabang akan menggantikan fungsinya dengan arah tumbuh yang semula melintang menjadi ke bawah, dan juga akar bisa tumbuh besar dan cukup dalam. 2. Jenis-Jenis Teh Ada beberapa jenis teh menurut Hollenberg (2008) yaitu sebagai berikut a Teh hijau : Bahannya berasal dari pucuk daun teh yang sebelumnya mengalami pemanasan dengan uap air untuk menoaktifkan enzim yang terdapat dalam daun teh. Selanjutnya digulung dan dikeringkan. Teh hijau diproduksi dengan cara penguapan (steaming) daun teh pada suhu tinggi sehingga kandungan katekin dapat dipertahankan. Kandungan katekin pada teh hijau mencapai 30-42%. b Teh putih : Untuk membuat teh putih diperlukan daun teh yang paling muda, yang masih dipenuhi bulu putih pedek atau bulu halus. Proses pemasakannya mengalami 2 tahap, yaitu penguapan dan pengeringan. Tidak ada proses pelayuan, penggilingan, atau fermentasi (kadang kala difermentasi juga dengan kadar ringan). Tampilan teh putih nyaris tak berubah, yaitu berwarna putih keperakan. Ketika diseduh akan berwarna kuning pucat dengan aroma lembut dan segar. Kandungan katekin pada teh putih sekitar 22-25%. c Teh oolong : terbuat dari daun teh yang lebih besar dan lebih tua. Setelah dipetik langsug dijemur untuk pelayuan. Tujuan pelayuan untuk menurunkan kadar air dan membuat lebih lembut. Kemudian daun diaduk-aduk atau dikocok untuk menghilangkan pinggiran daun. Tahap berikutnya ditebar dan dikeringkan, dilakukan beulang kali. Tampilan teh oolong, bagian tepi daun teh akan berwarna merah karena fermentasi dan bagian tengah tetap berwarna hijau. Kandungan katekin pada teh oolong sekitar 15-19% (Gede, 2006). d Teh hitam : Daun yang sudah dipetik, kemudian dijemur 12-18 jam. Dilanjutkan dengan proses fermentasi secara penuh. Warna daun teh menjadi hitam dan beraroma khas. Daun teh yang mengitam ini kemudian digiling dan selanjutnya masih difermentasi di dalam ruangan dingin dan lembab. Melalui proses ini, teh yang dihasilkan dapat lebih banyak. Sebagian besar teh yang beredar di pasaran adalah teh hitam. Teh hitam sebenarnya mengandung katekin, namun tidak banyak. Hal ini karena adanya proses fermentasi pada pembuatan teh hitam yang dapat merusak kandungan katekin. Kandungan katekin pada teh hitam hanya sekitar 7-10% (Hollenberg, 2008). 3. Teh Hijau (Ryokucha) Teh hijau (ryokucha) adalah teh yang sangat umum di China. Teh hijau adalah terpilih dari daun teh kelas atas yang disebut tencha. Teh dinamakan gyokuro karena warna hijau pucat yang keluar dari daun teh. Daun dilindungi dari terpaan sinar matahari sehingga mempunyai aroma yang sangat harum. Teh hijau berkualitas tinggi yang digiling menjadi bubuk teh (Hanzi, 2009). 4. Kandungan dan Kegunaan Teh Hijau Menurut Khomsan (2008) teh hijau mempunyai kandungan dan kegunaan sebagai berikut : - Polipenol (katekin) yang terdapat dalam teh hijau adalah bahan sangat bermanfaat bagi kesehatan, yaitu mampu mengurangi risiko penyakit jantung, membunuh sel tumor, dan menghambat pertumbuhan sel kanker paru-paru, kanker usus terutama sel kanker kulit. Zat ini dapat membantu kelancaran proses pencernaan makanan melalui stimulasi peristalsis, produksi cairan pencernaan, menghambat pertumbuhan plak, dan menghilangkan bau mulut. - Fluor adalah tergolong sebagai mineral yang dapat mencegah radang gusi, dan gigi berlubang. - Mangan yang terdapat pada teh hijau dapat membantu penguraian gula menjadi energi sehingga membantu menjaga kestabilan kadar gula dalam darah. - Kafein yang terkandung dalam teh hijau berbeda dengan kafein yang terkandung dalam kopi. Pada teh hanya terkandung kafein sebanyak 3 - 5%. Jadi jika kita rajin minum teh, maka tubuh dan pikiran akan terasa lebih segar. Kafein berpengaruh positif pada aktivitas mental, dan dapat memperbaiki proses pencernaan makanan dalam lambung. B. Halitosis Pengertian Halitosis Halitosis berasal dari kata “halitos” yang berarti nafas dan “osis” yang berati kondisi tidak normal, berarti halitosis adalah bau nafas yang tidak sedap. Sekarang ini istilah halitosis telah digunakan secara bersama untuk menyatakan bau nafas yang tidak sedap, bahkan halitosis banyak dikenal dan dipergunakan (Haskell & Gayford, 1979). Pada tahun 70-an dengan dipelopori oleh Dr Joseph Tonzetich dari Departement of Oral Biology, Fatulty of Dentistry, University of British Columbia Vancouver Canada, dilakukan penelitian yang mendalam untuk mengetahui sebenarnya penyebab nafas yang tak sedap pada seseorang. Dr Tonzetich dan kawan-kawan berhasil mendeteksi bahwa adanya sesuatu senyawa yang berbau yang keluar dari mulut seorang mengidap bau mulut (Djaya, 2001). Halitosis telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan selama berabad-abad, hal ini dapat diketaui dari tulisan-tulisan Romawi kuno. Sejak tahun 1550 BC orang Mesir telah menganjurkan untuk mengatasi nafas tak sedap dengan cara mengunyah bahan yang baunya wangi seperti mellburry, myrrh (sejenis rempah-rempah), atau karet dari pohon mastik. Jaman dahulu seorang pejabat romawi telah memberikan pernyataan bahwa nafas seseorang akan menjadi bau karena makanan yang tidak baik, karena gigi yang jelek, atau bahkan meningkatnya usia seseorang. Demikian pula Hipokrates yang lebih dikenal sebagai bapak ilmu kedokteran, 460-337 BC, telah membahas tentang diagnosa dan perawatan bau mulut. Hipokrates menjelaskan adanya hubungan antara penyakit gusi dan bau mulut. Jika gusi menjadi sehat kembali bau mulut akan hilang. Sir William Osler 90 tahun yang lalu, dokter Kanada yang terkenal juga menyatakan bahwa deteksi mau mulut dapat merupakan indikator yang baik dari penyakit-penyakit mulut dan penyakit-penyakit sistemik tertentu (Djaya, 2001). Pengertian tentang suatu bau yang tercium adalah sangat berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Seseorang tidak keberatan bau dari anggota keluarganya seperti istri dan anak karena hal itu dapat memberikan ciri khas tersendiri. Seseorang sering pula tidak dapat merasakan baunya sediri karena telah terbiasa, seperti halitosis, ini terjadi karena adanya efek ”adaptasi” dimana karena bau tersebut menjadi ada dan terpapar terus-menerus, menyebabkan syaraf olfactorius menjadi teradaptasi sehingga tidak disadari lagi adanya bau. Menurut Fahrudin (2002) pada umumnya halitosis bisa dialami oleh semua orang, pria-wanita, besar-kecil, tua-muda, bayi ataupun lanjut usia walaupun hanya sehari. Bau tersebut bisa bersifat sementara bisa berbulan-bulan, atau bertahun-tahun. Tingkat baunya bermacam-macam, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Meskipun biasanya orang menyebut bau mulut tak sedap, namun sebenarnya sumber bau mulut itu tidak hanya dari rongga mulut saja, tetapi juga bisa dari rongga hidung, paru-paru dan lain-lain. Tetapi bila orang yang bersangkutan itu sediri mempunyai syaraf-syaraf pembauannya rusak, maka ia tidak mengetahui kalau bau mulutnya berbau. Jadi hanya orang lain yang berada di depannya saja yang bisa tau. Tidak ada penyakitpun hanya dari mulut bisa berbau, karena makan-makanan yang berbau merangsang atau karena obat-obatan yang diminum, bahkan mulut kering karena pernapasan melalui mulut yang terus-menerus juga menimbulkan halitosis. Halitosis disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari mulut,sebab-sebab sistemik atau kelainan pada daerah nasofaringeal (Djaya, 2001). 2. Faktor-Faktor Penyebab Halitosis a. Faktor lokal Menurut Djaya (2002) di dalam rongga mulut mempunyai peranan besar terhadap terjadinya halitosis, dan banyak sekali berpendapat bahwa di dalam mulut mikroorganisme yang membentuk flora normal mulut. Jutaan koloni berbagai jenis bakteri di dalam rongga mulut yang berguna untuk membantu pencernaan makanan. Di dalam rongga mulut juga terdapat gigi yang mempunyai pengaruh terhadap halitosis seperti kebersihannya dan kesehatannya, jaringan penyangganya (periodontium). Terdapat juga jaringan lunak mulut seperti gingiva, mukosa serta lidah.beberapa faktor penyebab halitosis dari halitosis dari rongga mulut : - Lidah Berdasarkan studi yang dilakukan menyatakan bahwa permukaan lidah bagian paling belakang lidah merupakan sumber utamanya terjadinya halitosis. Lidah mempunyai tonjolan-tonjolan halus pada papilla-papila pada seluruh permukaannya, terdapat tiga jenis papila yang terbesar pada tempat-tempat tertentu dimana panjang-pendeknya papilla ini bervariasi pada setiap individu. Permukaan lidah merupakan tempat utama aktivitas serta berkembang biaknya bakteri. Daerah-daerah di antara papila-papila serta dasar lidah tersebut merupakan tempat paling disukai oleh bakteri khusus bakteri-bakteri anaerob. Disamping itu permukaan lidah seperti halnya permukaan gigi juga dapat tertutup oleh plak yang merupakan lapisan tipis seperti film berasal dari sisa-sisa makanan terutama bagian posterior. Oleh karena itu membersihkan lidah sangatlah penting khususnya dalam mencegah halitosis (Dyaja,2001). - Ludah Ludah atau saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis yaitu adanya suatu aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degradasi protein menjadi asam amino oleh mikroorganisme (Djaya, 2001). - Stomatitis Stomatitis yaitu radang pada selaput lendir mulut. Salah satu jenis stomatitis yang amat jahat yaitu adalah jenis noma, stomatitis yang berbau busuk (Djaya, 2001). - Karies gigi Karies gigi adalah suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Jika dibiarkan lama kelamaan gigi akan membusuk dan menimbulkan bau mulut (Ginting, 1985). - Karang gigi / kalkulus Karang gigi atau kalkulus adalah suatu endapan keras yang melekat pada permukaan gigi. Karena gigi mempunyai permukaan yang kasar sehingga sisa-sisa makanan dan air ludah melekat pada permukaan gigi dan menimbulkan bau mulut. Penyebab timbulnya karang gigi adalah karena penimbunan lapisan mineral pada gigi yang berbatasan dengan gusi, dan dapat menimbulkan gangguan gigi serta gusi (Ginting,1985). - Periodontitis Radang sekitar gigi ini dapat timbul karena adanya ransangan plak dan kalkulus yang menyebabkan pembengkakan jaringan gusi dan terjadi poket atau yang lebih dalam dari normal yang selanjutnya menjadi bertambah dalam diakibatkan adanya kerusakan serat-serat periodontal dan tulang-tulang alveolar (Ginting, 1985). - Sisa akar gigi Seandainya kalau karies gigi dibiarkan semakin lama semakin besar dan akhirnya gigi hancur semua, akhirnya di dalam tulang hanya tertinggal sisa akar membusuk (Ginting, 1985). - Pemakaian protesa atau gigi palsu Pemakaian gigi palsu yang tak terawat menimbulkan bau mulut yang tidak sedap karena tidak dijaga kebersihannya, terutama gigi tiruan, sekarang ini telah jarang dibuat dan hampir selalu berbau tidak sedap (Yuwono, 1989). b. Faktor umum Yaitu penyebab halitosis yang berasal dari selain dalam rongga mulut : - Rokok/Perokok Yaitu bau dan rasa dari mulut seorang perokok cukup khas yang biasanya dapat ditentukan apakah pasien merokok sigaret, cerutu atau dengan pipa. Pasien yang menghembuskan nafas berarti mengeluarkan bau dari paru-paru. Bronkus, mulut, hidung dan sinus paranasal, meningkatkan sekresi mukosa dapat memperburuk bau tersebut (Irawati, 2005). - Diet Salah satunya diet juga dapat menimbulkan halitosis, makanan yang digoreng juga dapat melimbulkan bau mulut bahkan setelah gigi di bersihkan. Kopi juga dapat mempunyai yang khas, tetapi bau hilang setelah dilakukan penyikatan gigi (Temmy, 2002) - Kelainan rongga tenggorokan atau nasoparing >Pharingitis yaitu radang selaput lender tenggorokan (Irawati, 2005). >Sinus paranasal, yaitu sinus yang mengalami radang dan menguarkan nanah sehingga menimbulkan bau (Djaya, 2001). >Tonsilitis akut, dimana tonsil membengkak, dan mengandung nanah sehingga menimbulkan bau (Djaya, 2001). >Rinitis yaitu peradangan mukosa fosa nasali terutama rhinitis atrofi (ozaena) yaitu mukosa hidung menjadi sklerotik, fosa nasal tersumbat oleh krusta yang menghasilkan bau mulut yang busuk (Irawati, 2005). - Penyakit ginjal kronis Dalam rongga mulut biasanya berbau kurang sedap pada penyakit penyakit ginjal kronis dengan lidah yang kering dan berubah warna. Urea dikeluarkan melalui kelenjar ludah bila pasien mengalami uremia yang parah dan bau mulut berbau urine (Irawati, 2005). - Keadaan hepatikum Keadaan hepatikum ini terdapat pada fungsi hati yang sangat akut dan dapat dianggap sebagai tanda kemungkinan terjadinya koma. Bila pasien belum berada pada keadaan yang sangat akut, bau mulut pasien yang hepatikum yang sering disebut dalam sejumlah istilah, seperti bau kayu lapuk, tikus, dan bahkan bau bangkai segar (Yuwono, 1989). - Paru-paru dan bronkus Penyakit paru-paru dan bronkus dapat berupa abses, kavitas dan daerah-daeah strategi dapat memperburuk bau mulut. Keadaan seperti bronkiektasis, abses paru-paru, enpyema, dan keadaan lain yang dapat menimbulkan pembusukan kavita paru-paru dapat menimbulkan halitosis (Yuwono, 1989). C. Karang Gigi Karang gigi adalah bakterial plak yang mengalami endapan keras/mineralisasi, dapat terbentuk pada semua permukaan gigi dan celah gigi yang berwarna mulai kekuning-kuningan, kecoklat-loklatan, kehijau-hijauan sampai kehitam-hitaman dan mempunyai permukaan yang kasar. Oleh karena karang gigi yaitu endapan keras dari plak, maka terbentuknya adalah berdasarkan perkembangan dari plak oleh karena itu plak harus ada untuk terbentuknya karang gigi. Untuk mengontrol karang gigi harus dimulai dengan plak kontrol (Sunaryo, 1984). Teori pembentukan karang gigi sangat bervariasi, tetapi pada umumnya para ahli berpendapat bahwa antara plak dan karang gigi terdapat hubungan yang erat sekali, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, tinggal terlalu lama pada permukaan gigi yang akan mengeras menjadi karang gigi. Penyebab ini berasal dari pengendapan bahan-bahan kasar, air ludah dan serum darah, akibat adanya suatu peradangan. Karang gigi mempunyai permukaan kasar sehingga sisa-sisa makanan dan air ludah melekat pada permukaan gigi tersebut. Selanjutnya karang gigi akan terus terbentuk dan bertambah banyak sehingga dapat menutupi sebagian permukaan gigi dan dapat juga dipermukaan akar gigi dibawah tepi gusi (Djuita, 1995). Klasifikasi Karang Gigi / Kalkulus Berdasarkan hubungan terhadap gingiva margin, karang gigi dibagi dalam a) Supra gingival kalkulus Melekat disebelah korona dari crest gingiva margin dan dapat dilihat. Warnanya putih kekuningan atau putih keabuan, klasifikasinya terganyung pada mineral-mineral yang terdapat didalam saliva dan lebih banyak terdapat di daerah tempat berkumpulnya saliva; misalnya pada daerah lingual gigi daerah anterior bawah, dan permukaan bukal gigi-gigi molar rahang atas. Supragingival kalkulus mempunyai konsentrasi seperti tanah liat, warnanya dapat dipengaruhi oleh pigmentasi yang berasal dari tembakau, makanan atau metabolisme bakteri. Pada kasus-kasus yang eksterim kalkulus dapat membentuk menutupi permukaan oklusi gigi yang tidak berfungsi (Sunaryo, 1984). b) Subgingival kalkulus Melekat disebelah apikal dari crest gingiva margin di dalam sulkus gingiva dan poket, tidak terlihat pada pemeriksaan. Untuk menentukan adanya subgingiva kalkulus digunakan sonde. Konsentrasinya padat dan keras, warnanya coklat tua atau hijau kehitam-hitaman. Bayangan warna ini dapat terlihat berupa warna gelap membayang disekitar gingival margin. Klasifikasinya sebagian besar berasal dari mineral-mineral yang terdapat didalam gingival (Sunaryo, 1984). 2. Komposisi Karang Gigi Komposisi karang gigi bervariasi sesuai dengan lamanya pembentukan. Terdiri dari 80% masa anorganik, air dan matrik organik dari protein dan karbohidrat. Fraksi anorganik terutama dari fosfat kalsium, dalam bentuk hidroksid apatid, brushide, whitlockite, dan fosfat oktakalsium. Selain itu juga terdapat sejumlah kecil kalsium karbonat, magnesium fosfat, dan fluor. Kandungan fluor dari karang gigi adalah beberapa kali lebih besar dari pada di dalam plak (Manson, 1993). BAB III KERANGKA TEORI A. Landasan Teori Teh hijau mengandung zat aktif bernama katekin yang dapat membunuh bakteri di mulut, dapat menahan proses pembentukan plak gigi. Tidak hanya menghalangi tapi justru membunuh bateri pembentuk plak dan karang gigi sehingga tidak terjadinya bau mulut dengan mekanisme menghambat radikal bebas. B. Kerangka Konsep C. Definisi Operasional Mekanisme atau cara kerja zat aktif (katekin) yang terkandung di dalam teh hijau yang dapat membunuh bakteri dalam mulut dan menghambat pertumbuhan plak sehingga tidak terjadinya suatu endapan keras yang melekat pada permukaan gigi (karang gigi) yang menyebabkan bau mulut. BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan suatu keadaan yang dibahas berdasarkan metode studi kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, makalah ilmiah, serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan mekanisme teh hijau untuk menghilangkan halitosis yang disebabkan oleh kalkulus. B. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan penelaahan kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca dan mempelajari buku-buku literatur, laporan-laporan, serta makalah ilmiah lainnya yang kemudian dibahas berdasarkan teori-teori yang ditemukan, sehingga dapat menciptakan pemahaman serta diperoleh arah dan hasil penelitian yang tepat dan relevan. BAB V PEMBAHASAN Sekresi saliva berkaitan erat dengan kesehatan rongga mulut, terutama berhubungan dengan pembentukan pada plak, plak adalah Plak gigi adalah lapisan lembut yang terbentuk dari campuran antara makrofag, leukosit, enzim, komponen anorganik, matriks ekstraseluler, epitel rongga mulut yang mengalami deskuamasi, sisa-sisa makanan serta bakteri yang melekat di permukaan gigi. Bakteri yang berperan penting dalam pembentukan plak gigi adalah bakteri dari genus Streptococcus, yaitu bakteri Streptococcus mutans (Maulani, 2006). Jika plak tidak segera dibersihkan maka dapat menimbulkan karang gigi. Pembentukan karang gigi dimulai dengan pengendapan garam kalsium fosfat yang dapat terjadi apabila lingkungannya mempuyai ph tinggi yang basa, sehingga plak dan sisa-sisa makanan menempel pada permukaannya. Akibat adanya pengendapan kalsium fosfat dalam lingkungan basa dapat memudahkan bakteri dalam menghasilkan amoniak yang mengandung uriase. Hasil dari metabolisme bakteri ini berupa gas atau senyawa sulful yang mudah menguap sehingga dapat menyebabkan bau mulut (Wibisono, 2002). Adanya senyawa sulfur yang mudah menguap atau Volatile sulful Compounds (VSC), merupakan unsur utama penyebab halitosis. VSC adalah hasil aktifitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap hingga menimbulkan bau yang tercium oleh orang lain disekitarnya. Aktifitasnya di dalam mulut bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein, sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang telah mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut. (Djaya, 2002). Di dalam mulut normal diperkirakan rata-rata terdapat sekitar 400 macam bakteri dengan berbagai tipe. Meskipun penyebab bau mulut belum diketahui dengan jelas, kebanyakan dari bau tersebut berasal dari sisa makanan di dalam mulut. Masalah akan muncul bila sebagian bakteri berkembang biak. Kebanyakan dari bakteri ini bermukim di leher gigi bersatu dengan plak dan karang gigi, selain itu di balik lidah juga ada karena daerah tersebut merupakan daerah yang aman dari kegiatan mulut sehari-hari. Bakteri tersebut memproduksi toksin atau racun, dengan cara menguraikan sisa makanan dan sel-sel mati yang terdapat di dalam mulut. Racun inilah yang menyebabkan bau mulut pada saat bernafas karena hasil metabolisme proses anaerob pada saat penguraian sisa makanan tersebut menghasilkan senyawa sulfide dan ammonia (Vyati, 2009). Upaya pencegahan lebih banyak ditujukan untuk mengurangi terjadinya penumpukan plak yang berlebihan di dalam rongga mulut. Salah satu caranya yaitu dengan menggunakan teh hijau (ryokucha) (Hattori & Sakanaka, 1998). Teh hijau mengandung zat aktif bernama katekin yang dapat membunuh bakteri di mulut, sekaligus menghilangkan gula dari plak dan menghilangkan bakteri penyebab napas berbau. Minumlah 2 sampai 5 cangkir teh hijau sehari (Johnson, 2009). Teh hijau memiliki kandungan katekin yang tinggi karena pada pembuatan teh hijau tidak melibatkan proses fermentasi yang merupakan oksidasi polifenol (katekin). Oleh karena itu teh hijau yang kaya akan kandungan katekin yang mampu mencegah pertumbuhan bakteri pembentuk plak. Sedangkan pada teh hitam, kandungan katekin sangat rendah karena pada proses pembuatannya melibatkan proses fermentasi yang merupakan proses oksidasi polifenol (katekin) (Khamson, 2008). Para ahli yang meneliti daun teh hijau sepakat, bahwa teh hijau mengandung senyawa-senyawa bermanfaat. Salah satu kandungan teh hijau yaitu senyawa substansi fenol yaitu katekin. Kandungan katekin dalam teh hijau adalah 30-42% berat kering daun teh hijau, meski total kandungannya bervariasi tergantung lokasi tumbuh, musim, intensitas cahaya dan ketinggian tempat (Hollenberg, 2008). Teh hijau mengandung 30-42% polifenol yang sebagian besar dikenal sebagai katekin. Katekin adalah antioksidan yang sangat kuat, lebih kuat dari vitamin E, C dan 0-karoten. Senyawa katekin yang terkandung didalam teh hijau yaitu : - epitekin (EC) - epikatekin galat (ECG) - epigallokatekin (EGC) - epigallokatekin galat (EGCG) .Dari keempat komponen katekin teh tersebut, EGCG merupakan komponen utama yang paling potensial. Salah satu fungsi utama dari EGCG adalah sebagai antioksidan, dengan mekanisme menghambat radikal bebas yang terjadi di dalam lingkungan sehingga menghambat reaksi berantai yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif bagi struktur mikroorganisme salah satunya bakteri dari genus Streptococcus, yaitu bakteri Streptococcus mutans. Selain sebagai antioksidan, EGCG juga berfungsi sebagai antimikroba, antimutagenik dan antikarsinogenik (Wulandari, 2008). Katekin yang terkandung di dalam teh hijau dengan konsentrasi tinggi, memiliki kemampuan untuk mengurangi pembentukan plak gigi dengan membunuh bakteri penyebab (Streptococcus mutans) dan menghambat aktivitas enzim glikosiltransferase (GTF) dari bakteri tersebut. Enzim GFT ini mengubah sukrosa menjadi glukan yang merupakan penyebab pembentukan plak gigi. Berdasarkan pengaruh katekin terhadap plak gigi, hasilnya menunjukan bahwa jumlah bakteri (Streptococcus mutans) berkurang sehingga pembentukan plak gigi pun berkurang (Hattori & Sakanaka, 1998). Selain itu hasil juga menunjukan bahwa antioksidan, dengan mekanisme dari katekin bisa menghambat reaksi berantai sehingga tidak terjadi senyawa belerang yang terbentuk dalam mulut seperti metil mercaptan dan beberapa sulfid (VSC) sebagai hasil penguraian protein oleh enzim dan bakteri (Wulandari, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar